Sejarah Berdirinya Kota Solo
SURAKARTA HADININGRAT
|
SEJARAH BERDIRINYA KOTA SALA
Siapapun
mengetahui bahwa hidup dalam penjajahan itu selain terhina, tidak
memiliki kebebasan juga sengsara. Kiranya demikianlah yang dialami oleh
Raja Keraton Kasunanan di Kartasura, Sri Susuhunan Paku Buwana II. Sang
Raja tidak memiliki kebebasan sama sekali. Sampai-sampai untuk memilih
calon putra mahkota raja harus terlebih dahulu meminta persetujuan dari
pemerintah penjajah, VOC Belanda. Pemerintah Belanda dan VOC Belanda
dengan politik ‘pecah belah’ terhadap Karaton Mataram itu berhasil
menguasai seluruh kekuasaan raja jajahannya.
Sementara
intrik perebutan kekuasaan kerajaan melanda Karaton Kasunanan di
Kartasura, yang dilakukan dari dalam keluarga keraton keturunan Mataram,
telah menimbulkan kemelut berkepanjangan dan bermusuhan. Di sisi lain
pelarian orang-orang orang-orang Cina yang tertindas oleh kompeni VOC
Belanda di Jakarta, mereka melarikan diri ke Jawa Tengah. Kemarahan
orang-orang Cina tertindas itu ditumpahkannya dalam bentuk pemberontakan
orang-orang Cina yang dipimpin oleh Sunan Kuning alias Mas Garendi di
tahun 1742 itu juga memperoleh dukungan dari Pangeran Sambernyawa alias
Raden Mas Said yang memanfaatkan momentum itu. Raden Mas Said sangat
marah dan kecewa terhadap kebijaksanaan Karaton Kartasura yang memangkas
daerah Sukowati yang dulu diberikan oleh Karaton Kartasura kepada
Ayahandanya.
Serangan
gencar prajurit pemberontakan Cina berhasil menjebol benteng pertahanan
Keraton Kartasura dengan menimbulkan banyak korban jiwa. Menghadapi
ancaman itu Paku Buwana II memerintahkan kerabat keraton dan para abdi
dalem untuk segera mengungsi ke ke wilayah jawa Timur bagian barat daya,
yaitu pacitan hingga ke Ponorogo. Sementara itu prajurit pemberontakan
Cina menghancurkan keraton Kartasura dan menjarah kekayaan karaton yang
tertinggal.
Pemimpin
Prajurit Kompeni VOC Belanda, Mayor Baron Van Hohendorff segera minta
bantuan minta bantuan prajurit Kompeni Belanda di Surabaya. Sementara
itu adipati Bagus Suroto dari kadipaten Ponorogo yang merasa benci
terhadap pemberontakan orang-orang Cina terhadap Keraton Kartasura, lalu
menyediakan prajuritnya untuk segera menumpas prajurit pemberontak
orang-orang Cina itu.
Peperangan
menumpas pemberontakan orang-orang Cina pimpinan Mas Garendi atau Sunan
Kuning berlangsung dengan seru. Akhirnya pemberontakan orang-orang Cina
berhasil ditumpas. Setelah tertumpasnya pemberontakan orang-orang Cina
maka Pangeran Sambernyawa alis Raden Said berjuang sendiri melawan
Kompeni Belanda dan Karaton Kartasura.
Ketika
kerabat Keraton Kartasura kembali ke keratonnya, keraton sudah hancur.
Maka Sri Susuhunan Paku Buwana II memerintahkan para abdi dalemnya untuk
membangun karaton yang baru. Untuk itu Paku Buwana II mengutus petinggi
keraton yang terdiri dari Tumenggung Tirtowiguna, Pangeran Wijil,
Tumenggug Honggowongsono dan abdi dalem lainnya untuk mencari tempat
baru untuk lokasi pembangunan Keraton Kasunanan itu. Mereka memanjatkan
doa kepada ALLAH SWT untuk memohon petunjukNya.
Rombongan
utusan keraton disertai oleh seekor gajah putih berjalan ke timur.
Suatu kali mereka mencium bau wangi di tanah Kadipolo. DesaTalang Wangi
itu sebenarnya cocok untuk lokasi pembangunan baru, tetapi tanahnya
banyak bukitnya. Lalu rombongan menuju kearah timur lagi. Mereka
menyebrabgi sungan Begawan Sala. Mereka tiba di Sonosewu.
Tanahnya datar dan dapat menggunakan sungan Begawan Sala sebagai lau
lintas. Namun secara spiritual Desa Sonosewu banyak dihuni setan
prayangan sehingga tidak baik untuk keraton baru.
Rombongan
menuju arah barat, tiba-tiba gajah putih milik keraton berhanti
istirahat di dekat daerah berawa. Para petinggi dan abdi dalem keraton
kembali memanjatkan doa kepada Allah. Dikeheningan malam mereka
mendengar ‘suara tanpa rupa’: “Hai...Engkau yang sedang bertirakat.
Kalau Engkau menginginkan sebuah tempat untuk ibukota kerajaan, pergilah
ke Desa Sala. Sebab itu dikehendaki Allah dan nantinya akan menjadi
kota yang besar dan makmur,........”
Tumenggung
Tirtowiguna dan Pangeran Wijil kemudian menemui Kepala desa Dusun,
bernama Kyai Sala. Saat pertemuan itu Kyai Sala bercerita , kalau ia
mimpi ada utusan keraton yang mencari tempat untuk membangun keraton. Ia
juga menerima wisik bahwa dusun itu baik, untuk tempat pembangunan
keraton. Herannya kok ada persamaan mimpi, maka Tumenggung Tirtowiguna
dan Pangeran Wijil segera melaporkan penemua desa Sala untuk lokasi
pembangunan Keraton pindahan dari Kartasura, dan sang raja
menyetujuinya.
Sri
susuhunan Paku Buwana II merasa sudah cocok apabila desa Sala yang
penuh dengan rawa itu untuk ibukota keraton maka disuruhnya para bupati
pesisir agar menimbuni rawa itu dengan tanaman lumbu, dengan maksud
untuk menyumbat sumber air besar yang terus mengalir. Kepala dusun Kyai
Sala menyampaikan usul agar dapat menyumbat sumber air besar didaerah
rawa, dengan gong sekar delima. Ketika sang raja dilapori tentang wisik
gaib dari Kyai Sala yang bunyinya “untuk menghentikan mengalirnya sumber
air, engkau harus menutupnya dengan gong merah delima dan kepala penari
serta daum lumbu. Maka oleh Sri Sunan diartikan bahwa gong itu suara
paling seru dalam karawitan, maknanya adalah Kyai Sala sikepala dusun
yang menghendaki sadangkan kepala penari terkait dengan wayang atau
ringgit (bahasa jawa) yang berarti uang. Jelaslah sudah bahwa Kyai Sala
menghendaki uang atas tanah halk miliknya, yang akan digunakan untuk
karaton. Maka Sri Sunan Paku Buwana II memberinya uang sebanyak 10.000
gulden Belanda (1744) untuk tanah milik Kyai Sala yang akan digunakan
untuk mendirikan bangunan karaton baru itu.
Pindahnya
Karaton Kasunanan warisan Mataram dari Kartasura ke desa Sala itu
merupakan bedol keraton secara total atau menyeluruh, Perpindahan itu
dilaksanakan dalam suasana sedih karena keraton Kartasura dirusak oleh
pemerintah Cina. Untuk pindahnya karaton itu terlebih dahulu para abdi
dalem karaton kasunanan harus membabat hutan belukar , menimbuni rawa
digedung lumbu dengan tanah galian dari Tanah Wangi di Kadipolo. Lubang
tanah bekas galian itu membentik danau kecil yang setelah ratusan tahun
dijadikan Balai Kambang Sriwedari. Seluruh bangunan inti karaton
kasunanan kartasura diboyong pindah untuk didirikan kembali di desa
Sala.Pada waktu itu pagar kompleks karaton dibuat dari bambu, secara
bertahap bagian-bagian karaton lainnya seperti Masjid Agung di alun-alun
utara pun dibangun oleh generasi Pemerintahan Paku Buwono selanjutnnya,
karena keberadaan bangunan tersebut sangat erat kaitannya dengan
kehidupan Karaton Surakarta
MASA REVOLOSI /SERANGAN 4 HARI KOTA SALA
Para
pejuang kemerdekaan Kota Solo dengan keberanian luar biasa, dapat
mengakhiri kekuasaan Pemerintah Militer Jepang yang keji dan kejam tak
berperikemanusiaan terhadap rakyat dan pejuang Indonesia, meskipun
persenjataan sangat terbatas dan sederhana. Puncaknya dengan penaklukan
terhadap pasukan militer Jepang di timuran ( sekarang Hotel Cakra di jl.
Birg Jend Slamet Riyadi ). Hal tersebut karena keterpaduan perjuangan
antara Tentara Nasional Indonesia, Tentara Pelajar, bersama rakyat.
Bukan hanya perjuangan bersenjata, tetapi diperlukan perjuangan
diplomasi seperti dilakukan oleh tokoh pejuang Soemodiningrat yang
kebetulan salah satu bangsawan dari Keraton Kasunanan Surakarta. Ketika
menaklukan Pimpinan Militer Jepang Watanabe dalam perundingan di Balai
Kota Sala. Namun setelah terusirnya kekuasaan Pemerintah Fasis Jepang
dari bumi Republik Indonesia ternyata pasukan Belanda datang dengan
menunggangi Sekutu / PBB ke Indonesia. Belanda berusaha untuk
mencengkeramkan kembali kekuasaannya di bumi nusantara, dan para pejuang
kemerdekaan Indonesia melakukan perlawanan bersenjata dengan penuh
keberanian untuk mengusir Tentara dan Pemerintahan Penjajahan Belanda.
Katika
Pasukan Belanda menyerbu Ibukota Republik Indonesia yang dipindahkan
sementara di Yogyakarta pada tanggal, 19 Desember 1948, kemudian pasukan
Belanda pun menyerbu kota Sala dua hari kemudian. Maka rakyat bersama
Angkatan Bersenjata Republik Indonesia melakukan perlawanan bersenjata
untuk mengusir kekuasaan penjajah Belanda. Dalam kemelut perang
kemerdekaan untuk menghindari pasukan militer Belanda menguasai
tempat-tempat penting,maka para pejuang kemerdekaan Indonesia melakukan
politik bumi hangus termasuk gedung balai kota Sala yang merupakan pusat
pemerintahan juga dibakar. Sementara itu rakyat dan para pejuang
kemerdekaan republik Indonesia di kota Sala mengungsi keluar kota,
perjuangan itu dilakukan dengan begerilya.
Ada
peristiwa penting yang patut dicatat ialah saat terhadap pasukan
militer jepang yang bertahan disebelah barat gedung koperasi Batari (
oktober 1945 ). Saat itu gugur pejuang Indonesia yang bernama afirin
yang ditembak oleh serdadu Jepang yang sedang terkepung. Jenazah Arifin
dalam peti yang diselimuti kain merah putih, lebih dulu diusung
ramai-ramai di keraton Surkarta. Dalam hal ini Karaton menyediakan
kereta berkuda untuk mengangkut jenazah Arifin ke pemakaman di Sekar
Pace ( makam pahlawan kusuma bakti ) – Jurug.
Atas
perintah panglima Jendral Sudirman maka komandan brigade V divisi II
Letkol Slamet Riyadi mengkonsolidasi dengan membentuk komando pertahanan
atau Wehrekreise wilayah Solo, lalu dibentuk komando pertempuran
Panembahan Senapati yang meliputi daerah karisidenan Sala, Semarang
Selatan dan Pacitan. Untuk daerah Solo diberi nama Wehrekreise Arjuna
dipimpin oleh Ahmadi, yang terdiri dari lima rayon masing-masing
dipimpin oleh Kapten Suhendra, Lettu Sumarto, Kapten Prakoso,( pernah
menjadi rektor UNS ) Kapten Abdul Latief, yang ilegal dipimpin oleh
Lettu Hartono dengan melakukan gerilya terhadap Belanda.
Di
bidang pemerintahan sipil juga dibentuk pemerintahan kota solo yang
wali kotannya RM. Suharyo Suryopranoto, hasil persetujuan Room Royen
direalisasikan dalam Pemerintahan Penghentian Tembak Menembak oleh
Presiden Soekarno tanggal ,3 Agustus 1949, dan ditindak lanjuti oleh
Jendral Sudirman dan komando dibawahnya.
Serta
Wakil Tinggi Mahkota Belanda di Indonesia AHJ. Lovink ( 11 Agustu 1949 )
dari pengalaman sejarah membuktikan pemerintah Belanda sering ingkar
janji, tipu muslihat sehingga para pejuang selalu waspada serta
melakukan perluasan daerah kekuasaan di Solo dengan melakukan serangan 4
hari, pada tanggal. 7 – 10 agustus 1949 pada saatitu Belanda bermarkas
di Benteng, mendapat bantuan dari batalyon Yogyakarta untuk menyerbu ke
Solo, dan memaksa agar Slamet Riyadi menyerah. Dalam pertempuran ini
Belanda mengerahkan pesawat tempur dengan menyerang pasar nongko,
kampung petangpuluhan, srambatan, pasar kembang yang dianggap kantong
pejuang.
150
serdadu Belanda tewas tertembak, sebuah tank milik Belanda berhasil
direbut di kampung Purwo Diningratan. Setelah kewalahan menghadapi
pejuang, Belanda menyetujui Gencatan Senjata, tanggal 11 Agustu 1949
pukul 00.00. walaupun gencatan senjata ditanda tangani serdadu Belanda (
KNIL ) malah membabi buta menumpahkan kemarahannya dengan menembaki
penduduk sipil di Pasar Kembang dengan menewaskan 23 orang, dimana 13
onggota PMI Surakarta dibantai di markas PMI Padmo Negaran Gading serta 9
orang sipil juga tertembak, sedangkan Belanda sebanyak 7 orang
serdadunya juga tewas.
Selagi
perjuangan Indonesia lagi memuncak, September 1948 Partai Komunis ( PKI
) di bawah Muso cs dari Madiun melakukan pemberontakan di dalam, namun
pemerintah Indonesia pada waktu itu berhasil menumpasnya dengan korban
Kolonel Sutarto yang tertembak di sebuah gang Kampung Timuran, pada saat
itu kota Solo sedang menyelenggarakan PON I bulan September 1948 yang
dibuka oleh presiden Soekarno di stadion Sriwedari.
Untuk
memperingati pejuang kemerdekaan 4 hari di kota Solo, telah dibangun
monumen berupa tugu dihalaman Makorem 74 / Wirastratama Surakarta dan
monumen perjuangan 45 di Banjasari. Wong Solo berhutang budi pada
pejuang-pejuang tersebut “ InaliLlahi waina Illahi rojiun.......